Sabtu, 24 April 2010

Pantai Paray Biak







Sewaktu berkunjung ke Pantai Paray kami bertemu dengan adik-adik penduduk sekitar desa Paray. Mereka asyik berenang di tepian dengan dengan streofoam bawaan mereka. Riang gembira sambil berceletukan berebutan menaiki streofoam. Sementara deru ombak tenang menerpa ‘perahu buatan’ ala streofoam mereka.

Itulah sekelumit deskripksi singkat Pantai Paray.

Pantai Paray sendiri tidak jauh bila ditempuh dari pusat kota Biak, Papua. Kira-kira hanya membutuhkan waktu 15 menit berkendaraan ke Paray. Ke arah timur menuju Pantai Bosnik kita akan mendapati gapura besar di kilometer 10 menuju ke Perkampungan Paray. Di sepanjang perkampungan Paray inilah kami mendapati pantai Paray terbentang sepanjang sekitar 1 KM.

Bila menuruti jalan sampai bagian akhir kita dapat melihat salah satu monumen penting di kota inik. Desa Paray memiliki monumen Perang Dunia ke II yang didirikan untuk mengenang sejarah Perang Tentara Jepang melawan Tentara Sekutu. Dahulu tentara Jepang yang membangun pusat pertahanannya di pulau Biak mendapat perlawanan sengit dari tentara sekutu. Ada sebuah Goa yang sekarang terkenal dengan Goa Jepang dibangun oleh tentara jepang di desa Anggraidi dekat bandara Frans Kaisiepo. Konon Goa Jepang yang pintu masuknya ada di pusat kota itu tembus sampai desa Paray ini. Benar atau tidak? Saya pun masih mencari tahu.

Beruntung kami saat berkunjung ke Paray ternyata di salah satu rumah sedang diadakan ceremony pelamaran pengantin salah satu gadis desa ini. Kami menyaksikan arak-arakan pihak pengatin pria mendekati rumah pengantin wanita diiringi lagu khas Papua dengan alunan gitar dan tifa. Ibu-ibu membawa panci panci-besar dengan menenteng tunas kelapa sementara bapak-bapak membawa bendera merah putih. Semua larut dalam riuh menyanyikan lagu Nona Manis.

Suasana masih ramai ketika kami beranjak pulang meninggalkan Desa Paray. Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar