Jumat, 11 Juni 2010

Pantai Marao Biak Papua












Saya akan cerita sedikit tentang Pantai Marao. Letaknya tidak begitu jauh dari Pusat kota Biak, dengan menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam berkendaraan dengan kecepatan sedang. Pantai ini memiliki daya tarik tersendiri karena dahulu di Pantai ini pernah ingin didirikan Hotel besar yang menjadi kebanggaan kota Biak. Karena satu dan lain hal akhirnya hotel di dekat pantai ini akhirnya tutup. Sampai sekarang masih ada sisa puing-puing disekitar bangunan.

Kalau saya bandingkan dengan pantai-pantai lain di Biak, Marao bukan tipe pantai yang bisa dimanfaatkan untuk ‘mandi-mandi’. Dari bibir pantai sampai sekitar 500 meter ke tengah merupakan perairan dangkal dipenuhi karang-karang keras. Tidak cocok untuk kita yang ingin bersnorkling ria juga. Namun tidak kalah dengan pantai lain pantai ini memiliki lapangan yang cukup luas. Bisa digunakan untuk acara-acara outbond atau piknik keluarga seperti pantai Wanai didesa Wari Biak.

Ada yang unik di pantai ini. Sebuah patung khas papua setinggi kurang lebih 2,5 meter setia berdiri menghadap ke pantai seakan menyapa setiap pengujung yang datang.
View yang ada di Pantai Marao sangat menyejukkan mata. Hamparan biru laut dengan ayunan dahan kelapa dipesisir pantai ditambah jejeran pondok kayu beratap daun kelapa menambah keeksotikan Marao.


12-06-2010

Senin, 07 Juni 2010

Ketakutan Yahudi Vs Piala Dunia 2010








Mata dunia kian terbuka menyaksikan apa yang sudah dilakukan Yahudi di bumi Palestina belakangan . Operasi “Bajak Laut” yang mereka lancarkan terhadap relawan kemanusiaan Freedom Flotilla memicu reaksi pengecaman dari negara-negara di berbagai belahan bumi. Blokade 3 tahun terhadap rakyat Gaza tak mengendorkan semangat relawan-relawan untuk maju menembus laut Gaza walaupun kekejian Yahudi menghambat mereka untuk mengantarkan bantuan sampai ke Gaza.

Ketika aksi serampangan Yahudi di atas Mavi Marmara menjadikan kesyahidan 19 aktivis, dan 6 lainnya hilang, media menelanjangi habis Yahudi dan IDFnya. Terlepas dari sorotan media yang sebenarnya ingin saya soroti adalah bagaimana Yahudi sesungguhnya memperlihatkan ketakutan dan kepengecutannya terhadap bangsa yang saat ini mereka jajah, Palestina. Sejak invasi besar-besaran pasukan Yahudi menyerang Gaza tiga tahun lalu, mereka mengalami keputusasaan tidak dapat mengalahkan militansi Hamas dengan sayap militernya Brigade Izzudin Al Qassam. Biaya perang yang mereka keluarkan dan korban jiwa dipihak mereka tidak dapat menundukkan Gaza hingga saat ini benar-benar membuat mereka kecut. Alhasil bom-bom Yahudi sengaja mereka arahkan ke pemukiman penduduk menewaskan wanita, orangtua dan anak-anak yang tidak bersalah. Dengan dalih macam-macam sengaja mereka menghalau bantuan masuk ke Gaza. Sampai terjadinya tragedi Mavi Marmara,yang terjadi malahan makin memperlihatkan ketakutan Yahudi untuk menghadapi rakyat Palestina. Mereka terlihat takut kalau-kalau rakyat Gaza mampu bertahan karena bantuan dari dunia luar.

Saya jadi ingat kisah nabi Musa sesaat setelah menyelamatkan bani Israel dari Fir’aun, tiba didaratan yang baru dikenal setelah menyebrangi laut mereka dihadapkan pada penguasa daerah setempat, tabiat Bani Israel garis keturunan Yahuda ini memperlihatkan kepengecutannya untuk menyuruh Musa berperang sendirian. Hah, memang sudah tabiat dari nenek moyangnya.

Disamping tragedi Mavi Marmara, Yahudi ( saya memilih menyebut mereka Yahudi, karena nama Israil merupakan nama lain dari Nabi Yaq’ub yang berarti kekasih Alloh, anak sulung Yaqub yaitu Yahuda-lah garis keturunan bangsa Yahudi bermula) memang pintar memanfaatkan momen untuk memelintir opini publik. Bulan ini Dunia akan disibukan oleh ajang 4 tahunan Pesta Sepakbola seluruh Dunia yaitu Piala Dunia 2010. Hingar bingar Piala Dunia seakan mewabah dari anak-anak hingga orang dewasa. Berita-berita menjelang H-kesekian akan terus memberitakan update kondisi persiapan Piala Dunia. Dunia tersihir oleh hegemoni Piala Dunia. Lalu bagaimana dengan Saudara kita di Palestina? Dapatkah mereka bertahan dari kelaparan, kedingingan tanpa rumah sedangkan umat Muslim didunia terpana oleh kehebatan aksi figur Non Muslim memainkan si bulat Jabulani. Ya, tantangannya adalah dapatkah Issue Palestina tetap dibawa umat Muslim melebihi Piala Dunia. Hanya empati kita terhadap sesama yang mampu menjawabnya....

Sabtu, 29 Mei 2010

Pantai Wadibu Biak Papua























Dua hari menjelang keberangkatan tugas dinas ke Nabire, saya mengajak teman-teman untuk nye-norkling ke pantai Wadibu Biak. Pantai ini memang pernah sekali kami kunjungi saat wisata kantor ke Tanjung Barari. Saya sendiri penasaran untuk dapat merasakan berenang di pantai ini karena terakhir kami kesini saya tidak sempat merasakannya. Itu pun kami sempat tertinggal bis saat melaksanakan sholat dhuhur di Wadibu.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa kendaraan menuju Wadibu. Yah, perjalanan kesana memang cukup jauh dari pusat kota Biak. Sekitar 40 menit perjalanan. Pikir saya mungkin lelah juga kalau ditempuh dengan sepeda motor. Memang biasanya untuk pergi jalan-jalan atau berenang seperti ke Pantai Bosnik atau Waterbases cukup menggunakan sepeda motor. Melihat kondisi cuaca yang puanas terik, mungkin bisa-bisa belum sampai disana kami sudah mandi keringat. Sebenarnya masih ada alternatif lain yaitu meminjam kendaraan kantor, namun akhirnya pupus juga karena ternyata semua kendaraan sudah FULLBOOKED. Tanpa babibu berangkatlah kami dengan mobil Toyota Avanza sewaan.
Sampai di Pantai Wadibu kondisi sepi, hanya ada warga setempat yang memang tinggal di sekitar pantai, mungkin hanya rombongan kami yang hari ini berkunjung kesini. Hah.. akhinya saya dapat melampiaskan keinginan untuk mandi di Wadibu.
Pantai ini bukan tempat yang cocok untuk snorklingan. Tidak ada karang sama sekali yang menghiasi kedalaman cetek pantai. Berbeda denga Bosnik yang memang banyak karang di kecetekan pantainya. Wadibu tempat yang cocok untuk berenang-renang saja karena dasar pantai bersih dengan pasir tanpa bulu babi. Ya, tanpa bulu babi karena info yang saya dapatkan dari pace (panggilan untuk bapak) penduduk sekitar mereka memang giat membersihkan bulu bab di sepanjang dasar pantai untuk membuka tempat wisata bagi wisatawan agar berdatangan ke Wadibu. Bulu babi menjadi momok yang menakutkan bagi saya jika berenang dilaut lepas sebanding ketakutan saya dengan moni-moni (panggilan untuk ular laut).
Puas sangat memandang kilauan biru laut memantulkan terik mentari yang jatuh menimpa permukaannya tenang.
Ada kejadian unik saat kami hendak meninggalkan Wadibu. Saat itu kami didatangi oleh pace setengah baya, dia menyapa kami dengan hangat sambil memberitahukan untuk berhati-hati saat hendak menaiki jalan keluar pantai yang memang menanjak sekitar 110 derajat. Memang tanjakan ini terkenal banyak memakan korban kendaraan roda empat. Yang jadi unik ketika dia menawarkan kepada kami (kebetulan semua laki-laki) jasa Daun Bungkus khas Biak. Perlu diketahui pulau Biak sudah lama dikenal dengan Daun Bungkusnya. Sehari sebelum ke Wadibu saya pun baru tau apa itu daun bungkus dari obrolan teman kantor. Dikenal dengan nama daun bungkus karena digunakan untuk memperbesar kejantanan dengan cara membungkusnya dengan ramuan daun yang telah diracik. Info yang saya dapatkan ramuan ini harus membungkus selama tiga hari baru boleh dilepaska.Ah, saya tidak mau membayangkan apa jadinya. Yah cukup tau saja, yang begini ini manusia yang diperbudak hawa nafsunya tidak penah merasa puas,
Kami pun pamit pulang, sebenarnya tidak langsung pulang karena memang saya meminta untuk mampir ke Pantai Marauw yang sejalan dengan arah pulang, saya penasaran belum pernah ke pantai ini dan katanya menarik..

Sabtu, 15 Mei 2010

Jalan-jalan di Goa Jepang, Biak Papua







Pertama kali kami pergi ke Goa Jepang adalah perjalanan yang sebelumnya tidak direncanakan. Kebetulan, dan ketika tiba di pintu masuk menuju goa kami terkesima dengan jejeran besi-besi meriam tua berbagai jenis lengkap dengan amunisi disekelilingnya. Saya sempat mengambil beberapa foto sebelum masuk menuju lokasi goa berada. Ada sebuah mobil jeep bekas yang mungkin dipakai tentara Jepang dalam Perang Dunia II dan bekas-bekas badan pesawat yang sudah tidak utuh dionggoh bersama besi tua lainnya. Setelah puas mengabadikan beberapa foto, saya pun lekas menyusul teman menuju lokasi Goa berada.

Goa Jepang sendiri berada jauh dibawah perbukitan. Untuk masuk kedalam kita harus menuruni anak tangga yang pijakannya lembab dan basah. Tampaknya Goa Jepang memang diperuntukan bagi wisatawan yang ingin menyaksikan secara langsung bukti-bukti sejarah Perang Dunia II yang tersisa di pulau ini karena memang dipelihara dengan baik dengan dibuatkan anak tangga menuju ke dalam dari bibir gua. Sesaat saya ragu namun penasaran untuk memasuki gua karena tampak gelap dari luar. Karena sudah kepalang tanggung saya pun masuk menilisik isi ke dalam. Langkah kaki kami harus perlahan karena anak tangga yang licin dan basah pun keadaan sekeliling yang gelap gulita. Sementara diluar gua terik langit siang kian menghilang berganti langit mendung menyambangi.

Terkesiap saya tak henti mengucap asmaNya menyaksikan pemandangan yang saya temui ketika sampai kedalam gua. Di dalamnya kami menyaksikan ruangan luas lingkaran seperti lobang bekas hantaman bom. Dinding-dindingnya tegar layaknya Coloseum Roma tempat para gladiator jaman Romawi diadu, seakan-akan kami berada dalam lapangan yang ditengah-tengahnya dikelilingi tembok-tembok tinggi skalaktit dan skalakmit. Jika menatap keatas kami dapat menyaksikan cahaya matahari masuk tersaring dahan-dahan pepohonan.
Puas sekali menikmati pancaran cahaya yang masuk menuju lobang bundar goa. Seakan-akan kembali ke masa-masa Perang Dunia II berkobar. Terngiang perlawanan tentara Nippon yang digempur oleh pesawat tempur Sekutu dari langit. Mungkin goa ini jadi saksi bisu dimana kerakusan ego tiap negara saat itu diadu.

Saya tidak habis pikir negeri Sakura yang hanya sepersekian dari luas wilayah Indonesia itu dahulu mampu meluluhlantahkan Pelabuhan Mutiara (Pearl Harbor) Amerika. Perairan Pasifik pun mampu mereka kuasai. Kendatipun Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur ‘dicium’ sang Little Boy toh merekapun dapat bangkit dari keterpurukan kekalahan Perang Dunia II sampai saat ini mereka mengungguli kita diberbagai lini. Harusnya kita pun mampu melebihi mereka.

Hanya harapan yang menghinggapi...

Kami tidak berlama-lama berada didalam goa. Awan gelap seakan sudah tidak sabar memuntahkan air jernihnya ke daratan. Rintik hujan perlahan pasti mendapatkan gilirannya menyentuh dedaunan sampai akhirnya berkumpul bersama ditanah harapan. Berbondong-bondong mengantri menuju daratan rendah dibawahnya. Bersama dengan derasnya hujan kami pun berderas meninggalkan Goa Jepang. Berharap tiada lagi perang di Bumi ini seperti Perang Dunia II yang menyejarah.

Sabtu, 24 April 2010

Pantai Paray Biak







Sewaktu berkunjung ke Pantai Paray kami bertemu dengan adik-adik penduduk sekitar desa Paray. Mereka asyik berenang di tepian dengan dengan streofoam bawaan mereka. Riang gembira sambil berceletukan berebutan menaiki streofoam. Sementara deru ombak tenang menerpa ‘perahu buatan’ ala streofoam mereka.

Itulah sekelumit deskripksi singkat Pantai Paray.

Pantai Paray sendiri tidak jauh bila ditempuh dari pusat kota Biak, Papua. Kira-kira hanya membutuhkan waktu 15 menit berkendaraan ke Paray. Ke arah timur menuju Pantai Bosnik kita akan mendapati gapura besar di kilometer 10 menuju ke Perkampungan Paray. Di sepanjang perkampungan Paray inilah kami mendapati pantai Paray terbentang sepanjang sekitar 1 KM.

Bila menuruti jalan sampai bagian akhir kita dapat melihat salah satu monumen penting di kota inik. Desa Paray memiliki monumen Perang Dunia ke II yang didirikan untuk mengenang sejarah Perang Tentara Jepang melawan Tentara Sekutu. Dahulu tentara Jepang yang membangun pusat pertahanannya di pulau Biak mendapat perlawanan sengit dari tentara sekutu. Ada sebuah Goa yang sekarang terkenal dengan Goa Jepang dibangun oleh tentara jepang di desa Anggraidi dekat bandara Frans Kaisiepo. Konon Goa Jepang yang pintu masuknya ada di pusat kota itu tembus sampai desa Paray ini. Benar atau tidak? Saya pun masih mencari tahu.

Beruntung kami saat berkunjung ke Paray ternyata di salah satu rumah sedang diadakan ceremony pelamaran pengantin salah satu gadis desa ini. Kami menyaksikan arak-arakan pihak pengatin pria mendekati rumah pengantin wanita diiringi lagu khas Papua dengan alunan gitar dan tifa. Ibu-ibu membawa panci panci-besar dengan menenteng tunas kelapa sementara bapak-bapak membawa bendera merah putih. Semua larut dalam riuh menyanyikan lagu Nona Manis.

Suasana masih ramai ketika kami beranjak pulang meninggalkan Desa Paray. Sungguh pengalaman yang tidak terlupakan.

Sabtu, 17 April 2010

Air terjun Wafsarak, Warsa, Biak







Biak, Papua memiliki objek-objek wisata yang bagus untuk dikunjungi. Salah satu tempat yang menurut saya wajib dikunjungi wisatawan adalah Air Terjun Wafsarak. Terletak di distrik Warsa, air terjun ini memiliki pesona yang indah. Air terjun ini memilki ketinggian kurang lebih 10 meter dan mengaliri sungai dibawahnya yang mirip kolam yang menggoda untuk kita untuk berenang atau sekedar bermain air. Tidak jauh dari tempat air terjun berada terdapat pantai yang juga menawan untuk dikunjungi.

Distrik Warsa sendiri dapat ditempuh sekitar 1,5 jam dari pusat kota Biak di selatan dengan menggunakan kendaraan roda empat. Akses yang mudah untuk dilalui kendaraan.