Belajar dan bersyukur atas hal-hal kecil dalam kehidupan yang dipenuhi keinginan-keinganan besar.
Sabtu, 29 Mei 2010
Pantai Wadibu Biak Papua
Dua hari menjelang keberangkatan tugas dinas ke Nabire, saya mengajak teman-teman untuk nye-norkling ke pantai Wadibu Biak. Pantai ini memang pernah sekali kami kunjungi saat wisata kantor ke Tanjung Barari. Saya sendiri penasaran untuk dapat merasakan berenang di pantai ini karena terakhir kami kesini saya tidak sempat merasakannya. Itu pun kami sempat tertinggal bis saat melaksanakan sholat dhuhur di Wadibu.
Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa kendaraan menuju Wadibu. Yah, perjalanan kesana memang cukup jauh dari pusat kota Biak. Sekitar 40 menit perjalanan. Pikir saya mungkin lelah juga kalau ditempuh dengan sepeda motor. Memang biasanya untuk pergi jalan-jalan atau berenang seperti ke Pantai Bosnik atau Waterbases cukup menggunakan sepeda motor. Melihat kondisi cuaca yang puanas terik, mungkin bisa-bisa belum sampai disana kami sudah mandi keringat. Sebenarnya masih ada alternatif lain yaitu meminjam kendaraan kantor, namun akhirnya pupus juga karena ternyata semua kendaraan sudah FULLBOOKED. Tanpa babibu berangkatlah kami dengan mobil Toyota Avanza sewaan.
Sampai di Pantai Wadibu kondisi sepi, hanya ada warga setempat yang memang tinggal di sekitar pantai, mungkin hanya rombongan kami yang hari ini berkunjung kesini. Hah.. akhinya saya dapat melampiaskan keinginan untuk mandi di Wadibu.
Pantai ini bukan tempat yang cocok untuk snorklingan. Tidak ada karang sama sekali yang menghiasi kedalaman cetek pantai. Berbeda denga Bosnik yang memang banyak karang di kecetekan pantainya. Wadibu tempat yang cocok untuk berenang-renang saja karena dasar pantai bersih dengan pasir tanpa bulu babi. Ya, tanpa bulu babi karena info yang saya dapatkan dari pace (panggilan untuk bapak) penduduk sekitar mereka memang giat membersihkan bulu bab di sepanjang dasar pantai untuk membuka tempat wisata bagi wisatawan agar berdatangan ke Wadibu. Bulu babi menjadi momok yang menakutkan bagi saya jika berenang dilaut lepas sebanding ketakutan saya dengan moni-moni (panggilan untuk ular laut).
Puas sangat memandang kilauan biru laut memantulkan terik mentari yang jatuh menimpa permukaannya tenang.
Ada kejadian unik saat kami hendak meninggalkan Wadibu. Saat itu kami didatangi oleh pace setengah baya, dia menyapa kami dengan hangat sambil memberitahukan untuk berhati-hati saat hendak menaiki jalan keluar pantai yang memang menanjak sekitar 110 derajat. Memang tanjakan ini terkenal banyak memakan korban kendaraan roda empat. Yang jadi unik ketika dia menawarkan kepada kami (kebetulan semua laki-laki) jasa Daun Bungkus khas Biak. Perlu diketahui pulau Biak sudah lama dikenal dengan Daun Bungkusnya. Sehari sebelum ke Wadibu saya pun baru tau apa itu daun bungkus dari obrolan teman kantor. Dikenal dengan nama daun bungkus karena digunakan untuk memperbesar kejantanan dengan cara membungkusnya dengan ramuan daun yang telah diracik. Info yang saya dapatkan ramuan ini harus membungkus selama tiga hari baru boleh dilepaska.Ah, saya tidak mau membayangkan apa jadinya. Yah cukup tau saja, yang begini ini manusia yang diperbudak hawa nafsunya tidak penah merasa puas,
Kami pun pamit pulang, sebenarnya tidak langsung pulang karena memang saya meminta untuk mampir ke Pantai Marauw yang sejalan dengan arah pulang, saya penasaran belum pernah ke pantai ini dan katanya menarik..
Sabtu, 15 Mei 2010
Jalan-jalan di Goa Jepang, Biak Papua
Pertama kali kami pergi ke Goa Jepang adalah perjalanan yang sebelumnya tidak direncanakan. Kebetulan, dan ketika tiba di pintu masuk menuju goa kami terkesima dengan jejeran besi-besi meriam tua berbagai jenis lengkap dengan amunisi disekelilingnya. Saya sempat mengambil beberapa foto sebelum masuk menuju lokasi goa berada. Ada sebuah mobil jeep bekas yang mungkin dipakai tentara Jepang dalam Perang Dunia II dan bekas-bekas badan pesawat yang sudah tidak utuh dionggoh bersama besi tua lainnya. Setelah puas mengabadikan beberapa foto, saya pun lekas menyusul teman menuju lokasi Goa berada.
Goa Jepang sendiri berada jauh dibawah perbukitan. Untuk masuk kedalam kita harus menuruni anak tangga yang pijakannya lembab dan basah. Tampaknya Goa Jepang memang diperuntukan bagi wisatawan yang ingin menyaksikan secara langsung bukti-bukti sejarah Perang Dunia II yang tersisa di pulau ini karena memang dipelihara dengan baik dengan dibuatkan anak tangga menuju ke dalam dari bibir gua. Sesaat saya ragu namun penasaran untuk memasuki gua karena tampak gelap dari luar. Karena sudah kepalang tanggung saya pun masuk menilisik isi ke dalam. Langkah kaki kami harus perlahan karena anak tangga yang licin dan basah pun keadaan sekeliling yang gelap gulita. Sementara diluar gua terik langit siang kian menghilang berganti langit mendung menyambangi.
Terkesiap saya tak henti mengucap asmaNya menyaksikan pemandangan yang saya temui ketika sampai kedalam gua. Di dalamnya kami menyaksikan ruangan luas lingkaran seperti lobang bekas hantaman bom. Dinding-dindingnya tegar layaknya Coloseum Roma tempat para gladiator jaman Romawi diadu, seakan-akan kami berada dalam lapangan yang ditengah-tengahnya dikelilingi tembok-tembok tinggi skalaktit dan skalakmit. Jika menatap keatas kami dapat menyaksikan cahaya matahari masuk tersaring dahan-dahan pepohonan.
Puas sekali menikmati pancaran cahaya yang masuk menuju lobang bundar goa. Seakan-akan kembali ke masa-masa Perang Dunia II berkobar. Terngiang perlawanan tentara Nippon yang digempur oleh pesawat tempur Sekutu dari langit. Mungkin goa ini jadi saksi bisu dimana kerakusan ego tiap negara saat itu diadu.
Saya tidak habis pikir negeri Sakura yang hanya sepersekian dari luas wilayah Indonesia itu dahulu mampu meluluhlantahkan Pelabuhan Mutiara (Pearl Harbor) Amerika. Perairan Pasifik pun mampu mereka kuasai. Kendatipun Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur ‘dicium’ sang Little Boy toh merekapun dapat bangkit dari keterpurukan kekalahan Perang Dunia II sampai saat ini mereka mengungguli kita diberbagai lini. Harusnya kita pun mampu melebihi mereka.
Hanya harapan yang menghinggapi...
Kami tidak berlama-lama berada didalam goa. Awan gelap seakan sudah tidak sabar memuntahkan air jernihnya ke daratan. Rintik hujan perlahan pasti mendapatkan gilirannya menyentuh dedaunan sampai akhirnya berkumpul bersama ditanah harapan. Berbondong-bondong mengantri menuju daratan rendah dibawahnya. Bersama dengan derasnya hujan kami pun berderas meninggalkan Goa Jepang. Berharap tiada lagi perang di Bumi ini seperti Perang Dunia II yang menyejarah.
Langganan:
Postingan (Atom)